Rabu, 20 Januari 2010

Sekilas Sulawesi Barat



Sulawesi Barat merupakan provinsi baru di Pulau Sulawesi, Indonesia. Sulawesi Barat adalah provinsi pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi dengan ibukota Mamuju sebagian besar dihuni oleh suku Mandar dibanding dengan suku-bangsa lainnya seperti Toraja, Bugis, Jawa, Makassar dan lainnya. Maka tidak heran jika adat dan tradisi suku Mandar lebih berkembang di daerah ini.

Orang Mandar adalah pelaut-pelaut yang ulung. Ketika berlayar, mereka akan bersandar pada yang baik dan pantang menyerah. Sandeq merupakan sebutan untuk perahu layar tradisional khas masyarakat suku Mandar, Sulawesi Barat. Perahu ini memiliki panjang lambung sekitar 7—11 m dan lebar 60—80 cm, dan di samping kiri-kanannya dipasang cadik yang terbuat dari bambu sebagai penyeimbang. Dilihat secara sekilas, perahu ini terkesan rapuh dan mudah rusak ketika mengarungi ombak. Tetapi, di balik itu semua tersimpan kekuatan yang luar biasa. Tercatat pada masa lampau, perahu tersebut mampu berlayar mengarungi beberapa pulau di Nusantara bahkan mampu berlayar sampai ke Madagaskar.

Rakyat Mandar bercita-cita menjadikan wilayah mereka sebagai wilayah Mandar yang terpandang dan mulia. Salah satu tradisi orang Mandar yang sangat terkenal adalah tradisi penjemputan tamu-tamu kehormatan baik dari dalam maupun luar negeri. Penyambutan tamu kehormatan tersebut sedikit berbeda dari daerah lainnya. Para tamu kehormatan tidak hanya disambut dengan pagar ayu atau pengalungan bunga, tetapi juga dengan Tari Patuddu (Tari Perang), tarian yang biasanya dimainkan oleh anak-anak dengan menggunakan alat tombak dan perisai yang kemudian diiringi irama gendang, tarian ini biasa dibawakan untuk menyambut balatentara kerajaan yang baru saja pulang dari berperang.

Di Kota Mamuju, ibukota Sulawesi Barat, terdapat sebuah tempat wisata yang cukup ramai dikunjungi para wisatawan, yaitu kawasan Pantai Manakarra. Pantai ini merupakan bagian dari Teluk Mamuju, tempat Pelabuhan Batu berada yang menjadi sentra perhubungan di Kota Mamuju. Bagi masyarakat setempat, Pantai Manakarra identik dengan tempat mangkal anak-anak muda. Namun, pada kenyataannya banyak juga orang dewasa yang datang berkunjung ke pantai untuk berekreasi. Biasanya, pantai ini mereka manfaatkan untuk tempat melepas lelah dengan menikmati indahnya pantai.

Jika wisatawan berkunjung ke Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, belum lengkap rasanya jika tidak singgah di Pantai Palippis. Pantai yang terletak di sisi jalan umum yang menghubungkan beberapa kota di Provinsi Sulawesi Barat dan berada sekitar 20 km dari Kota Polewali ini memiliki panorama alam yang menarik. Pantai Palippis menyuguhkan keindahan panorama pantai dengan pemandangan laut lepas. Pantai ini berada di sisi barat Pulau Sulawesi dan berhadapan langsung dengan laut yang memisahkan antara Pulau Sulawesi dengan pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.


Catatan :

Sulawesi Barat adalah provinsi pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang dibentuk pada 5 Oktober 2004 ini berdasarkan UU No 26 Tahun 2004. Ibukotanya ialah Mamuju. Luas wilayah sekitar 16,796.19 km². dan terdiri dari Suku Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%).

Sulawesi Barat dikenal sebagai lokasi wisata. Selain kakao, daerah ini juga penghasil kopi robusta ataupun kopi arabika, kelapa, dan cengkeh. Di sektor pertambangan terdapat kandungan emas, batubara, dan minyak bumi.



Sumber :

http://www.katalogindonesia.com/west-sulawesi-overview/
4 Maret 2009

http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Barat

Sumber Gambar:
http://sulbar.bps.go.id/index.php?link=geografi

Peta Sulawesi Barat


View Larger Map

Air Terjun Sambabo Mamasa Saingi Niagara


Air terjun Sambabo Mamasa mampu menyaingi keindahan air terjun Niagara yang terindah di dunia.

Permandian alam air terjun Sambabo di Desa Ulumambi Kecamatan Bambam Kabupaten Mamasa, Sulbar yang menjadi andalan wisata daerah itu tak kalah indahnya dengan air terjun Niagara di Amerika.

"Wisatawan yang pernah berkunjung ke air terjun Sambabo menilai, air terjun tersebut mampu menyaingi keindahan air terjun Niagara yang terindah di dunia, "kata Kepala Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Mamasa Harnal Edison Tanga di Mamuju, Senin.

Ia mengatakan air terjun Sambabo memiliki keindahan yang cukup menakjubkan bagi para turis asing berada pada ketinvggian 400 meter berada sekitar 10 kilometer dari Kota Mamasa atau sekitar 300 kilometer dari Kabupaten Polewali Mandar.

Selain itu, air terjun yang berasal dari kata Samba dan Botto, memiliki panorama yang indah karena berada di lereng gunung diantara gunung dan batu besar yang terjal dan hutan yang masih lestari.

Air terjun tersebut telah ramai dikunjungi turis mancanegara seperti Jerman dan Belanda yang ingin menikmati wisata alam Kabupaten Mamasa sebagai daerah yang menjadi ikon pariwisatar,ujarnya.

Namun menurunya, air terjun tersebut belum dikelola secara profesional sehingga wisata permandian alam tersebut belum dapat menambah pendapatan bagi Kabupaten Mamasa dari sektor pariwisata.

Karena kata dia, selain medannnya yang sangat sulit dijangkau untuk membangunan infrasturuktur di lokasi wisata air terjun tersebut, anggaran pengembangan sektor wisata di Kabupaten Mamasa melalui APBD juga masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengupayakan membangun koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulbar untuk melakukan perencanaan pengembangan wisata air terjun tersebut agar dapat dikelola secara profesional dan mendapatangkan pendapatan daerah itu.

Menurut dia, selain air terjun Sambabo, Kabupaten Mamasa, juga memiliki air terjun Mambulillin yang terletak di kecamatan Mamasa, air terjun tersebut memiliki keindahan karena berada di lembah lereng bukit terindah yakni Gunung Mabulilling yang bertetangga dengan gunung Ganda Dewata yang ramai dikungjungi pendaki gunung dari seluruh wilayah Indonesia.

Sayannya kata dia, gunung Mambulilin yang berada pada ketinggian sekitar 2741 meter dari permukaan laut tersebut juga belum dikelola dengan baik karena keterbatasan anggaran yang dimiliki daerah itu. [*/lia]

Sumber :
http://www.inilah.com/berita/gaya-hidup/2009/10/14/167739/air-terjun-sambabo-mamasa-saingi-niagara/
14 Oktober 2009

Pasokan Ikan di Majene Turun 80 Persen

Cuaca buruk yang menerpa wilayah Majene, Sulawesi Barat, sejak empat hari terakhir, tidak hanya membuat aktivitas nelayan lumpuh total. Namun aktivitas perdagangan di tempat pelelangan ikan (TPI) Majene pun berkurang. Bahkan, pasokan ikan pun turun hingga 80 persen dan harga ikan naik hingga 50 persen lebih.

Harga ikan cepak yang biasa dijual Rp 15 ribu, kini menjadi Rp 25 ribu per ikat. Sedangkan ikan cakalang kecil yang biasanya Rp 10 ribu, kini dijual Rp 15 ribu per ikat.

Selain harganya mahal, warga pun tak bisa banyak memilih jenis ikan kesukaannya. Hanya ada beberapa jenis ikan-ikan kecil yang dijual pedagang, seperti cakalang, katambak, dan cepak. Itu pun jumlahnya terbatas.

Kepala Syahbandar Majene Jejasa Sarita membenarkan terjadinya penurunan aktivitas nelayan itu. Ia juga terus mengingatkan para nelayan, terutama yang berkapal kecil, untuk tidak melaut karena membahayakan keselamatan mereka.

BMKG setempat juga mengingatkan warga dan para nelayan, agar berhati-hati melaut karena cuaca buruk masih akan berlangsung beberapa hari ini.(IDS/SHA)

Sumber :
http://berita.liputan6.com/daerah/201001/259744/Pasokan.Ikan.di.Majene.Turun.80.Persen
19 Januari 2010

Sekilas Kabupaten Majene


Kabupaten Majene adalah salah satu dari 5 Kabupaten dalam wilayah propinsi Sulawesi Barat dengan panjang pantai 125 Km yang terlatak di pesisir pantai Sulawesi Barat memanjang dari Selatan ke Utara dengan luas 947,84 Km. Kabupaten Majene terdiri terdiri dari 8 Kecamatan yaitu Banggae, Banggae Timur, Pamboang, Sendana, Tammero’do Sendana, Tubo Sendana, Malunda dan Ulumanda, yang meliputi 40 desa dan kelurahan.
Ibukota Kabupaten Majene terletak di Kecamatan Banggae dengan luas perkotaan 5.515 km, yang berada di posisi selatan Kabupaten Majene, dengan jam tempuh sekitar 3 jam sampai 4 jam dari ibukota Sulawesi Barat (Mamuju) yaitu ± 142 km.

Secara geografis Kabupaten Majene terletak pada posisi 2' 38' 45” sampai dengan 3' 38' 15” Lintang Selatan dan 118'45' 00” sampai 119'4'45” Bujur Timur, dengan berbatasan di sebelah utara Kabupaten Mamuju, sebelah timur Kabupaten Polewali Mandar, sebelah selatan Teluk Mandar, dan Sebelah Barat adalah Selat Makassar. Klasifikasi kemiringan tanah secara keseluruhan relatif miring dengan persentase wilayah yang mengalami erosi sebesar 3,41 % dan luas wilayah kabupaten, dengan suhu udara kantara 21 C sampai 34 C, serta jumlah hari hujan 208 hari.

Kabupaten Majene berada pada ketinggian yang bervariasi antara 0 – 1.600 meter di atas permukaan laut, Daerah ini mempunyai topografi yang sebagian besar merupakan lahan perbukitan dengan vegetasi yang mulai rusak akibat adanya pembukaan hutan menjadi sawah ladang (30% dari luas total 94,784 ha). Sisa dari lahan yang ada berupa daratan aluvial pantai dan batuan gamping (70%) sehingga potensi aliran sungai gunung dan mata air terbatas, apalagi di musim kemarau.

Jumlah penduduk Kabupaten Majene adalah 137.474 jiwa yang terdiri dari jumlah pria 66.494 jiwa dan jumlah perempuan 70.980 jiwa dengan kepadatan 1.060 jiwa per km untuk Kota Majene (Kec. Banggae). Tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Majene adalah 0,21% pertahun, dan 1,40% pertahun untuk Kota Majene. Penduduk Kabupaten Majene mayoritas beragama Islam 137.214 jiwa, Kristen 256 jiwa, Hindu 0 jiwa, Budha 4 jiwa dengan sarana peribadatan yaitu Masjid 214 buah, Langgar 61 buah, Musholla 40 buah dan gereja 1 buah.

Sumber :
http://www.majenekab.go.id/sekilasmajene.php

Profil Kabupaten Majene

Wilayah Majene merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi barat yang beribukota di Banggae, secara geografis terletak di 2o38 45 - 3o38 15 LS dan antara 118o45 00 - 119o4 45 BT. Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Mamuju di utara, Kabupaten Polewali Mamasa di timur, Teluk Mamasa di selatan, dan Selat Makasar di barat. Luas wilayah daearah ini adalah 947,84 Km2. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 8 Kecamatan dan 41 Desa. Hingga tahun 2006 memiliki jumlah penduduk 131.977 jiwa yang terdiri dari 65.803 jiwa pria dan 66.174 jiwa wanita, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 1,40%. Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB menurut harga konstan yang dicapai daerah ini pada tahun 2006 sebesar 454.839,92 (dalam jutaan rupiah) dengan konstribusi terbesar datang dari sektor pertanian 54,145, disusul kemudian dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran 13,08%, serta dari sektor jasa 12,13%.

Daerah ini mempunyai potensi yang besar yang dapat dikembangkan natara lain disektor perkebunan dengan komoditi utama yang dihasilkan berupa kelapa dalam, kelapa hibrida, kopi arabika, kopi robusta, cengkeh, lada, kakao, dan jambu mete. Untuk pertanian ini masih menjadi andalan kegiatan perekonomian di daerah ini dengan hasil utaamanya berupa bahan tanaman pangan yang meliputi padi, tanaman holtikultura, dan palawija.

Selain bertani, penduduk Majene juga bermatapencaharian sebagai peternak, pengembangan usaha beternak dialkaukan dengan mendatangkan bibit unggul, melaksanakan inseminasi buatan, perbaikan mutu pakan, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit. Populasi peternakan didaerah ini berupa kambing, kuda, kerbau, sapi, itik, dan ayam buras. Pemasukan daerah yang berasal dari kegiatan perikanan ini berupa ikan tuna, cakalang, tongkol, dan ikan terbang. Ditambah lagi hasil periakan darat seperti bandeng dan udang. Kondisi perairan Majene ternyata berdampak pula dengan duania pariwisata. Garis pantainya sepanjang 125 Km menyediakan tak kurang dari 11 lokasi wisata pantai lengkap dengan pasir putih, terumbu karang, dan ikan karang berwarna-warni. Sandeq merupakan perahu layar tradisional masyarakat Majene ini sudah diperlombakan sejak tahun 1995 untuk menarik wisatawan.

Dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan ini berdampak besar juga terhadap perdagangan. Perdagangan menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk setelah pertanian. keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai akan lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar baik arus barang maupun jasa,serta terdapat berbagai sarana dan prasarana pendukung diantaranya sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasi.


Sumber Data:
Sulawesi Barat Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Sulawesi Barat
Jl. KH. Ahad No. 9, Mamuju, 91511
Telp (0426) 21116

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=7620

Mamasa Andalan Tujuan Wisata Provinsi Sulbar


Mamasa Cottage yang merupakan wisata budaya yang sangat menarik di Kabupaten Mamasa.

Potensi wisata yang dimiliki Bumi Kondo Sapata sangat beragam, mulai dari wisata alam hingga budaya.Pemprov Sulbar bahkan telah menjadikan Mamasa sebagai tujuan wisata andalan Sulbar.

Hawa sejuk mulai terasa sejak memasuki perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dan Mamasa. Panorama alam berkontur pegunungan yang tinggi dan jurang di sepanjang jalan menuju Mamasa, menjadi salah satu pemandangan wisata alam yang indah.

Badan yang pegal seusai menempuh perjalanan sepanjang 92 kilometer selama tujuh sampai delapan jam, hilang sudah dengan berendam di kolam air panas. Kolam yang terawat dengan baik di kawasan Mamasa Cottage ini cukup mudah dijangkau. Jaraknya hanya sekitar dua kilometer dari Kota Mamasa.

Sambil berendam di kolam air panas, tanaman padi yang mulai menguning di petak-petak sawah bertingkat, menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Pegunungan Mambuliling yang menjulang tinggi dengan kokohnya, berdampingan dengan Gunung Gandang Dewata menjadi latarnya.

Obyek wisata Kabupaten Mamasa sebenarnya sangat berlimpah. Berkunjung ke Bumi Kondo Sapata, tidak hanya menemukan kolam air panas, atau sekadar merasakan sejuknya udara Kota Mamasa.

Pengunjung obyek wisata dapat pula menyaksikan kuburan tua Minanga yang telah berusia ratusan tahun. Kompleks perkampungan dengan rumah adat yang masih terjaga, tidak hanya dapat disaksikan di Tana Toraja.

Meluangkan waktu sejenak ke perkampungan desa wisata Ballapeu, ketakjuban terhadap kompleks rumah adat telah dapat dinikmati.

Atau, jika memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan hiking atau berjalan ke pegunungan, Mamasa menawarkan wisata jalan kaki ke Gunung Mambuliling. Selain menikmati panorama alam yang indah, rasa capek habis berjalan jauh terobati dengan menikmati kesejukan air terjun Mambuliling.

Obyek wisata lainnya yang cukup banyak di Kabupaten Mamasa, sebenarnya sangat berpotensi meningkatkan pendapatan daerah, jika mendapat pengelolaan yang cukup baik. Infrastruktur perhubungan juga perlu mendapat perhatian serius, terutama jalan yang menghubungkan Polewali-Mamasa-Tana Toraja, agar dapat menggaet wisatawan.

Kabid Pemberdayaan Pelaku Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mamasa, Obed Parapasan, mengakui masih minimnya perhatian pemerintah mengembangkan obyek wisata. Kendalanya, selalu alasan klasik, yakni masalah anggaran.

"Upaya promosi yang dilakukan selama ini, masih sebatas pembuatan leaflet atau brosur dan beberapa kali mengikuti even pameran. Tetapi obyek wisata yang ada masih belum mendapat sentuhan yang memadai untuk lebih mengembangkan dan menarik minat wisatawan," jelasnya.

Menurutnya, agar obyek wisata yang ada di Mamasa dapat diperkenalkan dengan baik ke luar daerah, dibutuhkan adanya situs khusus Dinas Pariwisata Mamasa di dunia maya atau internet. Namun, keterbatasan infrastruktur, menjadikan rencana ini masih sebatas keinginan yang belum terwujud.

Sumber :
Andi Ahmad-
http://www.liputan-kota.com/2008/11/mamasa-andalan-tujuan-wisata-provinsi.html

Semakin Langkanya Rumah Adat Mamasa


Foto : vibizlife / joey coal

Sering sekali ketika kita mendengarkan kata “Rumah adat’, mungkin yang muncul dalam pikiran kita hanyalah sebagai suatu peninggalan leluhur yang pelestariannya seakan-akan sebagai beban untuk generasi kita bukan lagi sebagai simbol kewibawaan sehingga tidak lagi ada yang menarik perhatian untuk di lestarikan bahkan dikembangkan. Bagaimakah menurut kita sebagai ahli waris dari simbol kebudayaan, Apakah memang benar bahwa pelestarian atau bahkan pengembangan rumah adat hanya sebagai beban ataukah sebaliknya?, kita dapat kembali mengangkat derajatnya dan menempatkan sebagai simbol dari kewibawaan bangsa?

Keberadaannya dengan berbagai bentuk simbol kehidupan suku bangsa itulah yang membedakan suatu suku dari suku-suku yang lain. Dan salah satu simbol kehidupan yang tidak terpisahkan dari keberadaan sebuah suku adalah rumah adat. sebagai tempat berteduh dan pusat kegiatan keluarga sekaligus sebagai simbol kewibawaan. Suatu contoh dapat kita lihat dari kebudayaan rumah adat orang – orang Mamasa banua layuk yang mempunyai daya tarik dan sekaligus dapat dijadikan sumber daya yang bisa kita banggakan.

Sesungguhnya Ada beberapa jenis dan tingkatan Rumah Adat Mamasa sebagai berikut:


1. Banua Layuk

Berasal dari kata “Banua” berarti rumah; kata “Layuk” berarti tinggi, maka “Banua Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang sangat berukuran besar dan tinggi, biasanya pemilik rumah tersebut merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan.


2. Banua Sura

Kata “Sura” berarti “Ukir” jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya tidak seperti banua layuk. Penghuni daripada rumah merupakan pemimpin dalam masyarakat dan bangsawan

3. Banua Bolong

Kata “Bolong” berarti “Hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam masyarakat.

4. Banua Rapa

Rumah Mamasa dengan warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh masyaraakt biasa.

5. Banua Longkarrin

Rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas dengan kayu (longkarrin), dihuni juga oleh masyarakat biasa

Rumah adat Mamasa bernama Banua Layuk yang berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi. Orobua, dan Tawalian kesemuanya dalam wilayah Kecamatan Mamasa. Rumah adat Mamasa merupakan simbol eksistensi suku toraja mamasa saat ini, yang semakin lama semakin terkikis oleh arus perubahan jaman. Pada dasarnya rumah adat Mamasa hampir mirip dengan rumah adat Toraja, perbedaannya yaitu rumah adat mamasa memiliki atap kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung sementara rumah adat Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf ‘U’. Dan selain itu, masyarakat Mamasa tidak memiliki terlalu banyak upacara adat sebagaimana di Toraja.

Secara struktur Banua Layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan kolong (rumah panggung), Secara fungsional bentuk rumah panggung dapat digunakan untuk menghindari gangguan binatang buas, lantai dapat menampung hawa panas di malam hari, sehingga cocok untuk daerah dingin, dan kolong dapat berfungsi praktis.

Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.

Betapa kayanya keaneka ragaman budaya yang bangsa kita miliki dan itu semua merupakan harta peninggalan dari leluhur kita yang harusnya kita dapat kembangkan dan lestarikan.Tetapi akankah simbol kehidupan orang-orang Mamasa ini akan tetap bertahan? ataukah akan tersingkirkan oleh bangunan-bangunan modern yang kelihatan lebih kokoh tapi tanpa makna? Semua terletak di tangan kita sebagai generasi penerus bangsa…. (febi supit/AS/bd)

Sumber :
http://vibizlife.com/travel_details.php?pg=travel&id=13821
27 September 2009

Akses Jalan Menuju Mamasa Buruk

Kondisi jalan menuju kota Mamasa, Sulawesi Barat hingga kini masih sangat memprihatinkan, meski secara umum telah mengalami sedikit perubahan dari tahun-tahun sebelumnya.

Wakil Bupati Mamasa H Ramlan, mengatakan kondisi pembangunan infrastruktur jalan provinsi menuju ibu kota Mamasa itu telah mengalami peningkatan, meski diakuai kondisi jalan tersebut hingga saat ini masih sangat memprihatinkan akibat masih banyak jalan yang berlubang dengan belum selesainya pembangunan infrastruktur di wilayah itu.

"Akses jalan menuju kota Mamasa masih sangat parah, belum lagi kita harus melewati jalur pegunungan berkelok yang sana sini terdapat jurang cukup terjal," ucapnya, Sabtu (12/12).

Ia menuturkan, pembangunan infrastruktur jalan ke wilayah Mamasa telah menghabiskan dana APBD dan APBN pada tahun anggaran 2009, sekitar Rp67,5 miliar untuk mendukung pengembangan infrastruktur di daerah hasil pemekaran kabupaten Polewali Mandar. Ramlan mengungkapkan, dari total dana pembangunan infrastruktur itu untuk menutupi pembiayaan 9 (sembilan) program pokok baik perbaikan jalan provinsi maupun jalan dalam kota.

"Jika akses jalan tidak bagus, perekonomian di daerah ini akan mengalami kondisi stagnan atau jalan di tempat. Kami berpikir 2010 akan kami upayakan dapat merampungkan," tukasnya.

Karena itu, pihaknya meminta agar pemprov Sulbar dalam mengalokasikan pendanaan pembangunan banyak diarahkan ke wilayah Mamasa untuk mempercepat pembangunan di daerah itu. "Untuk mempercepat pembangunan di Mamasa, pemprov hendaknya mengarahkan kegiatan proyek fisik ke daerah Mamasa, apalagi PAD mamasa masih sangat kecil," tambahnya. (Ant/OL-06)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/12/111126/128/101/Akses-Jalan-Menuju-Mamasa-Buruk
12 Desember 2009

Budaya Maritim : Sandeq dan Kearifan Lokal Suku Mandar


Majene di Sulawesi Barat kembali disebut-sebut menyusul keberhasilan pengangkatan kotak hitam pesawat Adam- Air beberapa waktu lalu. Wilayah yang didiami etnis Mandar ini sempat hilang dari ingatan selama puluhan tahun. Di era 1930-1980, Majene dikenal sebagai kampungnya pelaut ulung berperahu sandeq.

Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas, sandeq terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter. Di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang.

Sandeq mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong sandeq hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kappal, dan bodi-bodi.

"Kalau diibaratkan orang, sandeq berlari dan perahu lainnya berjalan," ujar Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti sandeq berdarah Mandar.

Horst H Liebner, peneliti sandeq asal Jerman, menilai, tidak ada perahu tradisional yang sekuat dan secepat sandeq yang menjadi perahu tradisional tercepat di Austronesia. Meski kelihatan rapuh, sandeq tangguh mengarungi laut lepas Selat Makassar antara Sulawesi dan Kalimantan.

Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para ’insinyur’ sandeq tampaknya sangat cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan. Sebab, Teluk Mandar memang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang, dengan angin kencang dan gelombang besar.
Sandeq harus bisa melaju cepat mengejar kawanan tuna yang sedang bermigrasi. Saat musim ikan terbang bertelur, nelayan menggunakan sandeq untuk memasang perangkap telur dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut.

Ikan dan telur ikan menjadi andalan utama ekonomi keluarga nelayan Mandar. Kepada pedagang perantara, para nelayan menjual telur ikan terbang bisa mencapai Rp 300.000 per kilogram, meski tahun ini hanya Rp 180.000 per kilogram.

Selain memburu rombongan ikan tuna dan cakalang, para nelayan Mandar juga biasa berburu rempah-rempah hingga Ternate dan Tidore untuk dibawa ke bandar Makassar.

Dilombakan

Saat libur melaut karena kendala cuaca, nelayan Mandar biasa mengisi waktu dengan menggelar lomba sandeq. Dulu, lomba hanya mengadu kemampuan manuver. Setiap sandeq harus memutari area yang dibatasi tiga titik.

Lomba ini membutuhkan kejelian membaca angin dan menentukan teknik manuver. Di sini nelayan diuji kepiawaian sebagai passandeq.

Lomba sandeq masih bisa disaksikan hingga saat ini dalam Sandeq Race, seperti digelar pertengahan Agustus lalu dengan mengambil rute Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar di Sulawesi Selatan dengan jarak tempuh 300 mil laut.

Ribuan orang tumpah ke pantai untuk menyaksikan sandeq dari desanya bertanding dalam pesta tahunan nelayan Mandar yang kini sudah menjadi agenda tahunan itu.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya adu cepat sandeq sudah ada sejak 1960-an. Dulu, lomba itu disebut lomba pasar, karena sandeq disewa oleh para pedagang untuk mengangkut barang dagangan ke setiap pasar di desa pesisir antara Majene dan Mamuju. Waktu itu, jalur laut sangat vital karena lebih cepat daripada transportasi darat yang masih terbatas.

Kecepatan sangat dituntut oleh pemilik barang agar tiba di pasar yang ada di setiap desa lebih awal, sehingga sandeq langsung bisa parkir di dekat pasar untuk meraup sebanyak-banyaknya pembeli. Passandeq (awak sandeq) yang lambat tiba pasti akan dimarahi pemilik barang karena pasar sudah sepi, sehingga garang tak laku.

Akan tetapi, kecepatan dan ketangguhan sandeq juga bisa menjadi sasaran gerombolan perompak. Karena itu, para pemilik perahu yang tahu perahunya cepat mengakali dengan mengikat batu supaya tidak direbut para perompak untuk dijadikan sarana kejahatannya.

Sepak terjang perompak ber-sandeq terbukti saat Horst berlayar menggunakan sandeq ke Bira, Sulawesi Selatan, pada pertengahan 1990-an.

"Orang Bira masih ingat kehebatan sandeq karena semua kapal layar bisa dikejar oleh sandeq. Kalau saat ini masih ada gerombolan, orang Bira mau menukar pinisinya dengan sandeq," ujar Horst.

Pelestarian budaya

Lomba sandeq profesional dirancang oleh Horst pada tahun 1995. Sandeq Race merupakan usaha untuk melestarikan dan meneruskan budaya bahari Mandar yang terancam punah. Sandeq mengajarkan nelayan muda untuk membaca arus, membaca angin, serta ritual yang ada di dalamnya.

Lomba ini gratis bagi nelayan Mandar, dan disediakan hadiah mencapai Rp 20 juta untuk juara umum. Semua peserta yang mencapai titik akhir juga memperoleh hadiah uang. Selama 10 hari mengikuti lomba, passandeq ditanggung biaya makannya, dan diberi uang untuk keluarga yang ditinggal.

Firdausy, passandeq dari Desa Pambusuang, Polewali Mandar, mengatakan, lomba sandeq mengandung unsur kebanggaan yang sangat tinggi. Pemenang lomba akan terangkat status sosialnya, dan menjadi buah bibir di masyarakat.

Kebanggaan sebagai passandeq itulah yang mendorong Firdausy merogoh Rp 30 juta untuk membuat sandeq yang khusus digunakan untuk lomba. Di luar lomba, sandeqnya hanya disimpan di kolong rumah panggungnya. "Setiap bulan kita cat ulang supaya awet. Kalau sudah dekat perlombaan, sandeq dikeluarkan untuk latihan hingga hari perlombaan," ujar Firdausy.

Sandeq Race yang telah 10 kali digelar merupakan usaha untuk melestarikan budaya bahari Mandar. Sebab, sejak awal 1990-an prahu bercadik ini makin hilang dari Teluk Mandar, dan digantikan perahu motor.

Dengan perlombaan itu, jumlah sandeq terus bertambah. Tahun ini, 53 sandeq ikut Sandeq Race. Beberapa di antaranya adalah sandeq baru.

Sumber :
AGUNG SETYAHADI
Kompas 07 September 2007, dalam :
http://makassarkota.go.id/content/blogcategory/37/152/index.php?option=com_content&task=view&id=633&Itemid=143

Orang Mandar Orang Laut


Banyak orang yang tinggal di luar Sulawesi bagian Selatan menganggap pelaut ulung dari kawasan itu adalah orang Bugis. Namun, menurut Christian Pelras, penulis buku The Bugis, pelaut ulung di kawasan itu adalah orang Mandar.


Dalam buku ini penulis membeberkan hasil pengamatannya terhadap tiga karya cipta kebudayaan bahari Mandar yang biasanya dioangkat sebagai ciri keulungan mereka sebagai pelaut, yakni: perahu layar (sande), menangkap telur ikan terbang (motangnga) dan rumpon (roppong).

Disusun sebagai catatan perjalanan, buku ini memperlihatkan bahwa ketiga ciri itu sudah ditinggalkan oleh nelayan Mandar. Tapi, perubahan ini bukan mencerminkan pudarnya keulungan Mandar di laut. Keulungan bahari orang Mandar di laut sebenarnya bukan terletak pada karya ciptanya, melainkan pada daya cipta mereka untuk terus-menerus menyesuaikan diri terhadap gelombang perubahan zaman.

Sumber :
Buku : Orang Mandar Orang Laut
Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 63S12505|23, dalam :
http://www.gramediashop.com/book/detail/9789799100276

Mamuju Utara, Surga Baru di Bumi Sulawesi

Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat bakal menjadi surga baru di belahan Bumi Sulawesi. Paling tidak, itulah sebutan yang tepat bagi kabupaten yang baru berusia lebih empat tahun ini.

Kabupaten ini sebelumnya, adalah bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003, kabupaten ini kemudian berdiri sendiri di bawah Provinsi Sulawesi Barat.

Bupati Mamuju Utara, Abdullah Rasyid, akhir pekan lalu, menjelaskan, kabupaten yang berpenduduk sekitar 102.322 jiwa ini memiliki sejumlah potensi yang sangat menjanjikan, mulai dari perkebunan hingga minyak dan batu bara."Hanya saja, infrastruktur kita yang belum memadai," katanya.

Menurut Abdullah Rasyid, saat ini Kabupaten Mamuju Utara memiliki luas lahan konsesi kebun kelapa sawit sebesar 42.370 hektar, luas areal yang menghasilkan sebesar 31 ribu hektar, dengan kapasitas produksi 640.300 ton per tahun dan dengan Produktivitas sebanyak 20,65 ton per tahun.

Selain itu, kelapa sawit milik masyarakat yang berproduksi seluas 10.550 haktar, dengan kapasitas produksi 211.000 ton per tahun dan dengan produktivitas 20 ton per hektar. Belum lagi kelapa dalam dengan luas areal produksi 24 ribu ton per hektar.

Lahan pertanian seluas lebih dari 160 hektar atau sekitar 43,70 persen dari luas kabupaten itu, lahan kebun kakao 28.000 hektar dengan produksi 0,6 Ton per hektar per tahun, serta hutan yang seluas 162.428 hektar atau lebih 50 persen dari luas Mamuju Utara. Karena itulah, masyarakat setempat lebih menjadikan pertanian dan perkebunan sebagai tumpuan hidup mereka.

Tidak hanya itu, Bupati Mamuju Utara, menjelaskan, ada tiga blok sumur minyak di daerahnya yang sekarang dalam tahap eksplorasi, yakni Blok Pasangkayu, Blok Surumana dan BLok Kuma. Eksplorasi minyak itu akan dilakukan oleh Marathon International Petroleum Oil, PT. Exxon Mobile dan PT Pertamina.

Untuk Marathon International Petroleum Oil, kata Bupati, memiliki lahan konsesi seluas 4.707,02 kilometer persegi, dengan nilai investasi tahap pertama lebih Rp 700 miliar. Perusahaan ini akan melakukan dua tahap eksplorasi. Tahap pertama akan berlangsung selama enam tahun dan akan diperpanjang lagi. PAda 10 tahun kemudian, perusahaan ini sudah dapat menghasilkan minyak dari antara 20 sampai 30 sumur di kawasan itu.

Bupati Abdullah Rasyid mengatakan, untuk PT Exxon Mobile, telah melakukan kegiatan serupa di Kabupaten Mamuju Utara yang juga akan mengolah Blok Migas Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara sejak Maret 2007 lalu.

Tahun ini, perusahaan tersebut akan melakukan survei seismic dengan luas wilayah sekitar 1.750 kilometer persegi, sedangkan luas blok wilayah eksplorasi sekitar 4.200 kilometer persegi. "Perusahaan ini akan melakukan pengeboran tiga sumur minyak sampai satu tahun ke depan," ujar Bupati Mamuju Utara.

Hanya saja, menurut Bupati Abdullah Rasyid, infrastruktur di daerahnya masih sangat terbatas. Hotel dan penginapan hanya ada dua, belum lagi soal energi listrik yang hanya bisa beroperasi delapan jam per hari.

Lantaran itu, pihaknya telah berupaya menggandeng sejumlah pelaku usaha untuk mendorong pembangunan infrastruktur di wilayah itu agar menjadi lebih baik. Antara lain yang sudah dijajaki adalah PT Citra Nuansa Elok (CNE) Palu dan Perusahaan Daerah Kota Palu. Dua perusahaan ini, kata Bupati Mamuju Utara, akan membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH)

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan hotel. Pihaknya, kata Bupati, sengaja menggandeng dua perusahaan di Palu ini, karena selain dari segi jarak tempuh yang sangat dekat, yakni hanya sekitar 120 kilometer dari Pasangkayu--ibukota Mamuju Utara, dua perusahaan ini telah terbukti berhasil membangun PLTU Palu dan Mall Tatura Palu.

"Dari pengalaman mereka itulah, kami sengaja mengundang mereka untuk membicarakan soal rencana pembangunan infrastruktur tersebut," kata Bupati Abdullah Rasyid.

Karman Karim, direktur Utama PT Citra Nuansa Elok, mengatakan, pihaknya akan membangun PLTMH di Mamuju Utara minimal satu mega per 1 turbin. Nilai investasinya nanti sekitar Rp 13 miliar. Nilai investasi sebesar itu, akan menjadi tanggungan bersama antara PT CItra Nuansa Elok, Perusahaan Daerah Kota Palu dan Pemerintah Kabupaten Mamuju Utara.

"Dalam waktu dekat, kami bersama Pemerintah Mamuju Utara segera membuat fisibility study, selanjutnya pekerjaan segera kami lakukan. Kami tidak sekadar membangun PLTMH saja, tapi sekaligus dengan mengurusi izin dan segala tetek bengek lainnya," kata Karman Karim.

Meski masih dalam tahap membangun berbagai sarana dan prasarana, tapi pemerintah setempat telah berani melakukan gebrakan positif dengan memberlakukan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh masyarakat di daerahnya. Tidak pandang bulu, apakah masyarakatnya miskin atau kaya, yang pasti kalau mereka berobat di rumah sakit atau puskesmas,

semuanya tidak dipungut biaya. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2007 di Mamuju Utara, hanya sekitar lebih Rp 265 miliar dan Pendapatan Asli Daerah lebih Rp 20 miliar.

Pertimbangannya, menurut Bupati, pihaknya telah menganggarkan sebanyak Rp 14 miliar dari APBD Mamuju Utara di bidang kesehatan, sementara pendapatan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan (rumah sakit) hanya sekitar Rp 90 juta per tahun.

"Jadi, antara pendapatan dan subsidi sangat tidak seimbang, sehingga saya mengambil kebijakan, lebih baik digratiskan saja," ujar Bupati Abdullah Rasyid.

Dengan begitu, walaupun usianya masih seumur jagung, tapi kabupaten ini paling tidak telah menjadi surga bagi masyarakatnya sendiri. Dan dalam waktu yang tidak lama lagi, setelah tiga blok minyak di Mamuju Utara itu sudah mulai dieksploitasi, maka Mamuju Utara akan menjadi Surga Baru di Bumi Sulawesi.

Sumber :
http://ochansangadji.blogspot.com/2008/01/mamuju-utara-surga-baru-di-bumi.html
14 Januari 2008

Profil Kabupaten Mamuju Utara

Wilayah Mamuju utara merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, secara geografis terletak di 0o40 10 -1o50 12 LS dan antara 119o25 26 - 119o50 20 BT. Daerah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Donggala provinsi Sulawesi Tengah di utara, Kabupaten Luwu Utara di timur, Kabupaten Mamuju di selatan, dan selat Makasar di barat. Luas wialayah daerah ini adalah 304.375 Ha. Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 4 Kecamatan dan 33 Desa. Hingga tahun 2006 memiliki jumlah penduduk 98.035 jiwa yang terdiri dari 50.500 jiwa pria dan 47.535 jiwa wanita, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4,81%. Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB menurut harga konstan yang dicapai daerah ini pada tahun 2006 sebesar 425.734,42 (dalam jutaan rupiah) dengan konstribusi terbesar datang dari sektor pertanian 49,88%, disusul kemudian dari sektor industri pengolahan 34,22%, dan dari sektor jasa 7,41%.

Dearah ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utama yang dihasilkan daerah ini berupa kelapa sawit, kelapa dalam, kelapa hibrida, kopi arabika, kopi robusta, jambu mete, cengkeh, kakao, dan lada. Untuk kegiatan pertanian di daerah ini, hasil utama yang dihasilkan berupa bahan tanaman pangan yang meliputi: padi, tanaman holtikultura dan palawija. Kelapa sawit merupakan komoditi unggulan daerah ini sudah terdapat 2 pabrik pengolahan kelapa sawit, dengan keberadaan pabrik ini memungkinkan menyerap tenaga kerja dari penduduk setempat dan meningkatkan hasil produksi kelapa sawit ini. Di sektor pertambangan daerah ini juga memiliki hasil tambang berupa minyak bumi yang dikelola oleh PT. Exson Mobile. Pembangunan sub sektor peternakan diarahkan untuk untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat akan makanan yang bergizi , disamping itu juga unutuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi ternak yang berkembang di Kabupaten Mamuju utara adalah ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, dan babi, sedangkan untuk jenis unggas adalah ayam kampung, ayam ras, dan itik lokal.

Dari hasil pertanian dan perkebunan ini berdampak besar juga terhadap perdagangan. Perdagangan menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk setelah pertanian. keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai akan lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar baik arus barang maupun jasa, daerah ini juga telah memiliki dua buah Pelabuhan utama yaitu Pelabuhan khusus Tanjung Bakau dan Pelabuhan Khusus Boemanjeng, serta terdapat berbagai sarana dan prasarana pendukung diantaranya sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasi.


Sumber Data:
Sulawesi Barat Dalam Angka 2007
(01-8-2007)
BPS Provinsi Sulawesi Barat
Jl. KH. Ahad No. 9, Mamuju, 91511
Telp (0426) 21116

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=7624

Mamuju Tengah Perlu Dimekarkan

Tim ad hoc DPD-RI Kabupaten Mateng, Ishak Pambumbu Lambe menyatakan, Pemekaran Kabupaten Mamuju Tengah (Mateng) dari Kabupaten induknya Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) adalah sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan.

Hal tersebut dikatakan Lambe di Mamuju, Minggu (2/8), saat meninjau kesiapan Kabupaten Mateng yang terletak sekitar 100 kilomter dari Kota Mamuju, ibu kota Provinsi Sulbar bersama enam orang Tim adhoc DPD-RI lainnya terdiri dari Kafrawi Rahim (Ketua), Jamila Samad, Ratu Cici, Muh Said, Markus Lois Zanggonau, dan Nursamsi Hafid (anggota).

Ia mengatakan, Kabupaten Mateng adalah sebuah wilayah yang sangat luas, sekitar 3.086,27 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 96.248 jiwa, cukup menunjang sebagai Kabupaten baru, namun karena belum dimekarkan. Kini, wilayah ini masih tertinggal dari segi pembangunan.

Oleh karenanya, lanjutnya, pemekaran Mateng yang akan dilakukan ini, adalah sebuah kebutuhan untuk menyejahterakan rakyat di wilayah ini, dan bukan hanya keinginan sekelompok masyarakat yang mengambil untung dari pemekaran ini.

\"Pemekaran Mateng bukan sekadar keinginan tetapi sudah menjadi kebutuhan, selama ini masyarakat Mateng yang memiliki kekayaan alam dari sektor pertanian seperti kakao harus menjual hasil pertaniannya itu dengan harga murah yakni Rp 2000 per kilogram karena tidak bisa mendistribusikan dengan baik akibat jalanan yang rusak dan jelek,\" katanya.

Oleh karena itu, pihaknya akan memperjuangkan pemekaran Kabupaten Mateng tersebut menjadi sebuah daerah otonom baru sebagai perjuangan aspirasi untuk kesejahteraan rakyat.

Melalui pemekaran tersebut, pembangunan akan lebih cepat dilaksanakan agar rentang kendali kekuasaan dan pemerintahan untuk mengatur roda pemerintahan masyarakat dari segi ekonomi dapat lebih menyentuh.

Ia berharap masyarakat Mateng juga dapat bersatu memperjuangkan pemekaran wilayahnya ini. \"Tokoh politik Mateng, mesti sepakat bahwa perjuangan Mateng bukan perjuangan pribadi, melainkan untuk perjuangan rakyat menuju kesejahteraannya,\" ujarnya.

Sumber :
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/08/03/02583650/mamuju.tengah.perlu.dimekarkan, dalam :
http://plod.ugm.ac.id/plodugm/index.php/berita/369-mamuju-tengah-perlu-dimekarkan-
3 Agustus 2009

Mamuju Kembangkan Wisata Hutan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar) akan mengembangkan potensi wisata hutan yang ada di wilayah itu.

"Kawasan hutan merupakan salah satu ciri khas Mamuju dan tidak hanya memiliki fungsi sebagai daerah resapan air dan sumber kayu, melainkan memiliki potensi wisata yang cukup besar," ungkap Kepala Disbudpar Mamuju, Paintu Ballaso, akhir pekan lalu.

Ia mengatakan, selama ini banyak orang menilai bahwa hutan hanya dimanfaatkan sebagai penghasil kayu, namun jika di lihat lebih jauh, hutan bisa menjadi salah satu objek wisata alam yang cukup menjanjikan. "Potensinya cukup besar, mengingat di Mamuju belum terdapat objek wisata hutan yang memadai," ucapnya.

Untuk merealisasikan hal tersebut pada tahun yang akan datang Disbudpar Mamuju berencana melakukan kerja sama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Mamuju. "Setelah dilakukan koordinasi, barulah akan dibentuk langkah-langkah teknis untuk merealisasikan rencana ini," tuturnya.

Untuk mewujudkannya, Disbudpar membutuhkan investasi yang cukup besar dari pihak ketiga. "Kalau cuma diserahkan pada pemerintah akan sulit. Kendala yang cukup besar dalam hal ini adalah anggaran yang terbatas, padahal untuk membuka objek wisata baru diperlukan dana yang besar," terangnya.

Ia menambahkan, selain dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) wisata alam dapat mengajak masyarakat untuk semakin memperhatikan dan melestarikan kawasan hutan.

Wisata hutan bukan hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi menjadi sarana pembelajaran untuk mengenal alam. Ia optimistis dengan kondisi hutan yang ada di Mamuju, wisata ini juga akan digemari oleh masyarakat.

Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2009/11/16/10205667/mamuju.kembangkan.wisata.hutan
16 November 2009

Kabupaten Mamuju

Kabupaten Mamuju adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Luas wilayah kabupaten ini sebelum dimekarkan adalah 11.057,81 km². Jumlah penduduk di kabupaten ini sebanyak 296.229 jiwa. Ibukotanya adalah Mamuju.

Penduduk Kabupaten Mamuju selama satu tahun terakhir mengalami pertumbuhan sekitar 7,35% dari 264123 jiwa pada tahun 2004 menjadi 283.528 jiwa pada tahun 2005. Sementara rata-rata pertimbuhan periode 2001-2005 tercatat sebesar 5,40% per tahun. Jumlah penduduk terbesar terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamayan Mamuju dengan penduduk sebesar 37,739 jiwa (13,31%) dan kecamatan Kalukku dengan penduduk sebesar 36.878 jiwa (13,01%). Masih ada satu kecamatan dengan jumlah penduduk relatif sedikit yaitu Kecamatan Bonehau dengan jumlah penduduk sebesar 7.436 jiwa.

Dengan luas wilayah 8.014,06 Km2, berarti tingkat kepadatan penduduk daerah ini sekitar 35,4 jiwa/Km2. ada tiga kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya di atas 200 yaitu Kecamatan Mamuju (235,5 jiwa/Km2), Kecamatan Simboro dan Kepulauan (215,7 jiwa/Km) dan Kecamatan Tobadak (208,4 jiwa/Km2). Sementara itu, kecamatan yang kepadatan penduduknya tergolong rendah dengan kepadatan di bawah 10 adalah Kecamatan Bonehau dan Kecamatan Kalumpang dengan tingkat kepadatan penduduk masing-masing 7,8 dan 6 jiwa/Km2.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Mamuju

Sulawesi Barat

Sulawesi Barat adalah provinsi pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang dibentuk pada 5 Oktober 2004 ini berdasarkan UU No 26 Tahun 2004. Ibukotanya ialah Mamuju. Luas wilayah sekitar 16,796.19 km². dan terdiri dari Suku Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%).


Sejarah

Bertolak dari semangat “Allamungan Batu di Luyo” yang mengikat Mandar dalam perserikatan “Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu” dalam sebuah muktamar yang melahirkan “Sipamandar” (saling memperkuat) untuk bekerja sama dalam membangun Mandar, dari semangat inilah maka sekitar tahun 1960 oleh tokoh masyarakat Manda yang ada di Makassar yaitu antara lain : H. A. Depu, Abd. Rahman Tamma, Kapten Amir, H. A. Malik, Baharuddin Lopa, SH. dan Abd. Rauf mencetuskan ide pendirian Provinsi Mandar bertempat di rumah Kapten Amir, dan setelah Sulawesi Tenggara memisahkan diri dari Provinsi Induk yang saat itu bernama Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra).

Ide pembentukan Provinsi Mandar diubah menjadi rencana pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dan ini tercetus di rumah H. A. Depu di Jl. Sawerigading No. 2 Makassar, kemudian sekitar tahun 1961 dideklarasikan di Bioskop Istana (Plaza) Jl. Sultan Hasanuddin Makassar dan perjuangan tetap dilanjutkan sampai pada masa Orde Baru perjuangan tetap berjalan namun selalu menemui jalan buntu yang akhirnya perjuangan ini seakan dipeti-es-kan sampai pada masa Reformasi barulah perjuangan ini kembali diupayakan oleh tokoh masyarakat Mandar sebagai pelanjut perjuangan generasi lalu yang diantara pencetus awal hanya H. A. Malik yang masih hidup, namun juga telah wafat dalam perjalanan perjuangan dan pada tahun 2000 yang lalu dideklarasikan di Taman Makam Pahlawan Korban 40.000 jiwa di Galung Lombok kemudian dilanjutkan dengan Kongres I Sulawesi Barat yang pelaksanaannya diadakan di Majene dengan mendapat persetujuan dan dukungan dari Bupati dan Ketua DPRD Kab. Mamuju, Kab. Majene dan Kab. Polmas.

Tuntutan memisahkan diri dari Sulsel sebagaiman diatas sudah dimulai masyarakat di wilayah Eks Afdeling Mandar sejak sebelum Indonesia merdeka. Setelah era reformasi dan disahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 kemudian menggelorakan kembali perjuangan masyarakat di tiga kabupaten, yakni Polewali Mamasa, Majene, dan Mamuju untuk menjadi provinsi.

Sejak tahun 2005, tiga kabupaten (Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa) resmi terpisah dari Propinsi Sulawesi Selatan menjadi Propinsi Sulawesi Barat, dengan ibukota Propinsi di kota Mamuju. Selanjutnya, Kabupaten Polewali-Mamasa juga dimekarkan menjadi dua kabupaten terpisah (Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa).

Pemerintahan

Kabupaten dan Kota (Ibukota):

1. Kabupaten Mamuju Utara (Pasangkayu)
2. Kabupaten Mamuju (Mamuju)
3. Kabupaten Mamasa (Mamasa)
4. Kabupaten Polewali Mandar (Polewali)
5. Kabupaten Majene (Majene)


Sumber :
Website resmi Sulbar, dalam :
http://provinsi.indonesia-e.info/2008/10/30/sulawesi-barat/
30 Oktober 2008

Mandar Berbenah dalam Bingkai Sulawesi Barat

Sebelum lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah Sulawesi Barat saat ini dulu lebih dikenal sebagai daerah Mandar. Sebutan itu mengacu pada mayoritas penduduknya yang berasal dari etnis Mandar.

Sejak berdiri sendiri sebagai Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) 5 Oktober 2004, daerah ini terus berbenah mengejar ketertinggalan. Maklum, dulu terpinggirkan.

Wilayah Sulbar meliputi Kabupaten Mamuju, Mamuju Utara, Majene, Polewali Mandar, dan Mamasa. Jalan penghubung antarkabupaten sudah beraspal, dengan transportasi yang mudah dari simpul utama di Makassar, Sulawesi Selatan. Dari Makassar, untuk mencapai ibu kota Sulbar, Mamuju, dibutuhkan waktu sekitar 10 jam melalui darat.

Provinsi baru ini mengandalkan sektor perkebunan kakao, kelapa sawit, dan perikanan tangkap. Kelompok sektor pertanian itu menyumbang sekitar 55 persen (2005) dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

Perkebunan kakao dan kelapa sawit menjadi sektor yang diunggulkan. Lahan kakao yang sudah diusahakan mencapai 99.000 hektar (ha) dengan produksi 76.000 ton. Kelapa sawit baru 10.000 ha, tetapi lahan yang tersedia 45.000 ha. Perkebunan kelapa sawit terbesar ada di Mamuju.

Sektor perikanan tangkap juga menjadi andalan dengan turunannya industri pengolahan ikan. Sektor ini banyak ditekuni karena terbatasnya lahan pertanian. "Di sini lebih banyak pegunungan batu yang setengah mati mengolahnya. Pertanian tidak mungkin berkembang," ujar Kaharuddin (28), warga Dusun Balemban, Pambusuang, Polewali Mandar.

Di kampung-kampung nelayan itu berkembang juga industri rumah tangga seperti tenun sutra dan pengasapan ikan. Industri rumah tangga itu belum berkembang karena dukungan modal, peralatan, dan pemasaran masih lemah.

Di sektor pariwisata, Sulbar baru dikenal dengan Sandeq Race. Lomba balapan perahu sandeq itu menjadi gelaran akbar yang menyedot wisatawan lokal, tetapi belum mampu menarik wisatawan asing.

Pembangunan sektor pariwisata menjadi perhatian Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, dengan mengalokasikan dana sekitar Rp 300 juta untuk sandeq race yang dikaitkan dengan promosi beberapa lokasi wisata lain, yaitu Pulau Karampuan, Kuburan Tua Laksa Laga, Masjid Nurut Taubah Lapeo di Polewali Mandar, dan Pantai Bahari Lombang-Lombang Mamuju. Sulbar memang belum mencapai perkembangan yang memuaskan. Mamuju belum bisa menjadi bandar besar untuk mengimbangi Makassar.

Padahal, Kerajaan Mandar pernah berjaya di abad ke-16, dengan membentuk federasi tujuh kerajaan di muara sungai (pitu ba'bana binanga). Federasi itu kemudian bergabung dengan tujuh kerajaan di hulu sungai (pitu ulunna salu).

Maka, Mandar yang pernah tergabung dalam federasi pitu ba'bana binanga dan pitu ulunna salu harus dimaknai kembali untuk membangun Sulbar. Di era otonomi daerah, kebijakan di tingkat kabupaten harus sinkron dengan provinsi untuk mempercepat pembangunan.

Semangat itulah yang harus memotivasi masyarakat Mandar dalam mewujudkan kesejahteraan dalam bingkai Sulbar. (ang)


Sumber :
http://202.146.5.33/kompas-cetak/0709/07/daerah/3798853.htm
7 September 2007

Peta Politik Sulawesi Barat Cermin Politik dalam Dua Masa

Rekam jejak kekuatan politik yang kurang memberikan manfaat menjadi bumerang di Sulawesi Barat. Loyalitas terhadap patron politik yang sebelumnya terbangun kokoh bukan tidak mungkin beralih.

Secara historis, Sulawesi Barat (Sulbar) dikenal sebagai wilayah bermukimnya orang Mandar. Memang, Mandar merupakan etnis mayoritas yang mendiami wilayah ini. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik di lima kabupaten yang kemudian membentuk Provinsi Sulbar, separuh bagian penduduk Sulbar beretnis Mandar.

Meski demikian, Sulbar saat ini tidak hanya dipenuhi oleh penduduk beretnis Mandar. Sebanyak 14 persen penduduk beretnis Toraja dan 10 persen Bugis juga bermukim di wilayah ini. Sisanya, kelompok suku bangsa lain. Dengan proporsi sebesar itu, Mandar tampak menonjol. Bahkan, kerap kali wilayah provinsi termuda di Indonesia ini diidentikkan dengan kewilayahan Mandar sejak berabad yang lalu.

Namun, dinamika politik yang terpetakan saat ini di Sulbar tak bisa dilepaskan dari Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai provinsi induknya. Sebelum mengalami pemekaran wilayah menjadi provinsi sendiri pada tahun 2004, Sulbar direpresentasikan oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang menjadi Polewali Mandar dan kabupaten pemekaran Mamasa), Majene, dan Mamuju (sekarang Mamuju dan kabupaten pemekaran Mamuju Utara). Seperti juga peta politik Sulsel, Sulbar yang kental dengan identitas budaya itu berhasil ”dikuningkan” Golkar.

Loyalitas mutlak

Kemunculan perdana Golkar pada Pemilu 1971 termasuk fantastis. Perolehan suara yang berhasil dikantongi mencapai tiga perempat bagian dari total suara. Partai-partai politik lain, terlebih partai bercorak keagamaan, bertumbangan. Dengan proporsi kemenangan mutlak tersebut, pola-pola kemenangan partai dan kelompok yang merujuk pada identitas keagamaan pada Pemilu 1955 tergeser. Sebagaimana yang terjadi pada pemilu pertama ini, di wilayah Sulbar yang masa itu disebut Mandar—mengacu pada afdeling Mandar bentukan pemerintah kolonial Belanda—peserta pemilu yang berpaham agamalah yang berkibar. Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan representasi partai bercorak keislaman, mampu mendominasi perolehan suara hingga dua pertiga bagian. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pun mampu meraih posisi kedua dengan 15,7 persen suara. Partai-partai bercorak nasionalis, sosialis, ataupun komunis tidak banyak berpengaruh di wilayah ini.

Pemilu 1977 semakin mengentalkan penguasaan partai berlambang pohon beringin ini. Kali ini 84 persen suara teraih. Demikian pula, empat kali penyelenggaraan pemilu berikutnya pundi-pundi Golkar selalu terisi penuh, di atas 90 persen. Bahkan, pada pemilu terakhir di masa kekuasaan rezim Orde Baru (1997) partai pemerintah ini menang dengan 95 persen suara! PPP yang merupakan representasi partai-partai bercorak keislaman yang pernah menguasai Sulbar dalam kurun waktu tersebut menjadi minoritas, di bawah 5 persen. Terlebih PDI, yang hanya mampu membukukan 1 persen suara saja.

Kemenangan Golkar, di samping kekuatan rezim Orde Baru yang menyertainya, tidak lepas dari kemampuan partai ini dalam meramu ideologi ”pembangunan” yang dikenalkannya untuk menggantikan kuatnya politik aliran dan kuatnya identitas yang membelah masyarakat wilayah ini. Di satu sisi, wilayah Sulbar yang terikat dalam wilayah konfederasi Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan yang terletak di kawasan pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di kawasan pegunungan) itu terhuni oleh tiga suku bangsa besar, Mandar, Toraja, dan Bugis.

Pada sisi lain, suku-suku bangsa menganut keyakinan beragama yang berbeda pula, yaitu Islam yang dianut mayoritas etnis Mandar dan Bugis dan Kristen bagi mereka yang mayoritas beretnis Toraja. Hal ini pula yang membuat partai-partai bercorak keislaman, seperti Masyumi, NU, dan bercorak kekristenan, seperti Parkindo, tampil menjadi pemenang di tahun 1955.

Perubahan patron

Titik balik muncul seiring perubahan besar yang bertajuk reformasi terjadi di negeri ini. Kebebasan sikap politik masyarakat kembali memperoleh ruang. Kemenangan memang masih menemani Partai Golkar pada Pemilu 1999 dan 2004. Namun, prestasinya merosot. Dari perolehan sebelumnya di atas 90 persen, hasil Pemilu 1999 membukukan 61 persen. Angka ini semakin menyusut pada Pemilu 2004, hanya mampu meraih 44,7 persen suara. Penyusutan dukungan terhadap Golkar otomatis memberi peluang bagi partai lain. Pada pemilu pertama pascareformasi, PDI Perjuangan (PDI-P) merebut posisi kedua yang sebelumnya selalu ditempati PPP. Hanya di Kabupaten Majene PPP mampu mempertahankan posisi. Namun, timbangan kembali bergerak. Dukungan terhadap PDI-P dan PPP pun kembali terkikis di tahun 2004, tergantikan oleh Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bagi Partai Golkar, ajang kontestasi politik lokal dalam pilkada yang berlangsung tahun 2005-2008 juga tidak memberi cermin yang indah. Dari lima pemilihan bupati dan satu pemilihan gubernur, pasangan yang diusung Partai Golkar hanya unggul pada pemilihan gubernur Sulbar dan pemilihan bupati Mamasa. Di Mamuju Utara, pasangan dari PDI-P yang menjadi juara. Sisanya, yaitu di Mamuju, Majene, dan Polewali Mandar, dimenangkan pasangan dari koalisi parpol. Dengan menggabungkan hasil kontestasi politik nasional 2004 dan berbagai hasil pilkada, tampak benar bahwa kekuatan partai ini memasuki masa rawan, sejalan dengan luputnya penguasaan wilayah di daerah yang sebelum-sebelumnya dikuasai.

Persoalannya kini, jika pengaruh Partai Golkar mulai terkikis, sementara partai-partai yang mewariskan corak keagamaan, baik Islam maupun Kristen, tidak juga mampu menggantikan penguasaan politik, konfigurasi politik apa yang terjadi dalam pemilu mendatang?

Becermin pada ajang pilkada lalu, tampak benar bahwa mesin politik parpol bukanlah satu-satunya penyokong kemenangan. Popularitas tokoh sering kali justru menentukan ke mana pilihan dijatuhkan. Dalam hal ini, kualitas dan rekam jejak selama ini menjadi acuan derajat popularitas tokoh-tokoh yang bersaing dalam kontestasi lokal. Di sisi lain, bagi masyarakat Sulbar, selain kualitas serta rekam jejak pemimpin selama ini, ikatan etnisitas dan kekerabatan masih kental. Faktor-faktor semacam ini secara langsung memberi celah bagi peranan patron sebagai pengarah opini publik yang potensial di ranah politik.

Bagaimanapun, posisi patron tidak sama di semua wilayah Sulbar. Di daerah pesisir, misalnya, dengan karakter masyarakat yang cenderung terbuka dan dinamis membentuk dan membutuhkan patron-patron politik yang cenderung bersifat rasional dan kadang pragmatis. Mereka yang memiliki sifat kepemimpinan dan terbukti berjasa pada masyarakat potensial menjadi patron masyarakat. Di sisi lain, bagi masyarakat pegunungan, posisi tokoh adat dan agama sebagai patron komunitas tampak tergolong kuat. Dengan kondisi semacam ini, kepiawaian meramu strategi penguasaan politik yang berbasis pada identitas di dua wilayah yang berbeda kultur politik ini bisa jadi menjadi faktor penentu dalam ajang kontestasi politik Pemilu 2009. (Sugihandari/ Litbang Kompas)

Sumber :
Sugihandari
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/24/00481596/sulawesi.barat
24 Februari 2009

Profil Sulawesi Barat

Sulawesi Barat adalah provinsi pengembangan provinsi Sulawesi Selatan. Secara administratif, provinsi Sulawesi Barat terbagi menjadi 5 kabupaten dengan Mamuju sebagai ibulota provinsi.

Komoditas unggulan di sektor perkebunan adalah kakao diikuti jambu mete, kelapa dalam, kelapa sawit, kelapa dan kopi robusta.

Di sektor pertambangan dan energi, potensi sumberdaya alamnya meliputi batu bara di Kabupaten Mamuju. Potensi bijih besi di Kabupaten Polewali Mandar, potensi tembaga. Semua potensi ini terdapat di Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju. Potensi pasir kuarsa di Kabupaten Mamasa, kaolin di Kabupaten Polewali Mandar, batu gamping di Kabupaten Majene serta potensi marmer. Selain itu terdapat potensi minyak dan gas bumi di Kabupaten Bloka Surumanal Pasangkayu, Kurna, Budang Budong, dan Karama.

Sebagai tujuan investasi, provinsi ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang diantaranya Bandara, serta memiliki Pelabuhan Majene, Pelabuhan Mamuju, Pelabuhan Belang-Belang, Pelabuhan Khusus Tanjung Bakau, Pelabuhan Khusus Bonemanjeng dan Pelabuhan Polewali.

Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=76

Sosial Budaya Provinsi Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat menurut sejarah terdiri atas beberapa Kerajaan, dibuktikan dengan adanya artefak luar di bekas afdeling Mandar. Di sana terdapat 14 kerajaan, masing-masing Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana, Tappalang, Mamuju, Binuang, Rante Bulahan, Aralie, Mambi, Tabulahan, Matangga, Bambang dan Tabang.

Terdapat enam bahasa daerah yang umum digunakan, masing-masing Mandar, Toraja, Bugis, Makasar, Jawa dan Bali. Terdapat beberapa suku / etnis yang menjadi keanekaragaman budaya di Sulawesi Barat, diantaranya Suku Mandar (49,15%), Suku Toraja (13,95), Suku Bugis (10,79%), Suku Jawa (5,38%), Suku Makasar (1,59%), suku lainnya (19,15%).

Orang Mandar adalah pelaut-pelaut yang ulung. Ketika berlayar, mereka akan bersandar pada yang baik dan pantang menyerah. Hal ini dibuktikan dengan adanya ungkapan “Takkalai disombalang dotai lele ruppu dadi na tuali di lolangan“ orang Mandar menjunjung tinggi hal-hal yang baik, benar dan mulia. Rakyat Mandar bercita-cita menjadikan wilayah mereka “Mandar yang masagena na mala bi”, maksudnya wilayah Mandar yang terpandang dan mulia.

Sumber :
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=6106&Itemid=1832